“Pikiran ini pasti cepat direvisi bila tidak relevan”
(Wahyudin Darmalaksana)
Pertanyaan:
Apakah pendidikan
tinggi wajib mengarahkan lulusan untuk memasuki dunia kerja?
Jawab:
Tidak semua
orang menyepakati hal itu. Karena ada pandangan yang mengatakan bahwa tugas pendidikan
tinggi bukan mencetak pekerja, melainkan yang paling utama menyiapkan generasi
yang berpengetahuan.
Namun, terasa
sekali bahwa kebijakan dunia tentang pendidikan tinggi sekarang ini lebih diarahkan
untuk menciptakan tenaga kerja. Ketika pendidikan tinggi kurang memiliki
kesiapan untuk tujuan ini, maka kursus-kursus bersertifikat cenderung diminati
sebagai jalan keluar yang cepat. Lulusan pada akhirnya memiliki dua poin
berharga, yaitu ijazah (gelar), dan sertifikat pendamping ijazah (skill).
Apakah benar
saat ini di “laut terbuka” yang lebih diutamakan bukan pengetahuan, melainkan
sikap dan skill atau keterampilan? Ini sepertinya benar karena pengetahuan mudah
diakses dan mudah dipelajari dengan cepat di era informasi sekarang ini.
Sikap adalah
ketangguhan mental untuk menghadapi berbagai tantangan dunia. Adapun
keterampilan dibagi dua, yaitu umum dan khusus. Keterampilan umum merupakan
standar minimal. Adapun keterampilan khusus merupakan keahlian.
Apakah
kurikulum menjamin keahlian yang relevan?
Bisa jadi
seseorang bergulat di dalam bidang ilmu dengan tidak ada peluang kerja. Namun,
keterampilan khusus yang relevan sangat mungkin dibesarkan. Tentu dengan cara
merampingkan pembelajaran teoritis dan lebih fokus mendalami inti.
Pasti ada
metode efektif untuk pembelajaran teori dengan waktu yang sangat pendek. Boleh
jadi belajar metodologi penelitian tidak perlu 1 (satu) semester tetapi cukup 2
(dua) jam dan selebihnya praktek.
Boleh jadi
teori inti bisnis cukup dipelajari 2 (dua) sampai 3 (tiga) jam, dan selebihnya
praktek. Kenyataannya, ada kasus berlama-lama belajar teori tetapi tidak bisa
praktek. Teori inti tahrij (bidang ilmu hadis) cukup 2 (dua) jam, selebihnya
pastikan praktek berjalan lancar.
Hari ini
yang dibutuhkan adalah keterampilan. Tentu sikap paling utama. Coba Semester I literasi
digital dan bahasa, Semester II menghabiskan teori inti filsafat, dan Semester
III pembelajaran inti mantiq. Mantiq adalah alat dan formula berpikir yang
membimbing pengguna agar selamat dari berpikir salah.
Selebihnya,
Semester IV sampai Semester VIII, semuanya, praktek. Berupa penguatan kapasitas
keterampilan tanpa batas.
Dengan
demikian, lulusan pendidikan tinggi dipastikan memiliki kesiapan untuk “berenang
di laut terbuka”. Bisa jadi pengetahuan non-linear tetapi keterampilan khusus
relevan.
Dunia
non-linear adalah kenyataan pendidikan tinggi pelik memasuki dunia kerja.
Namun, keterampilan khusus harus dipastikan relevan dengan kebutuhan dunia global.
Ilmu
Ushuluddin pelik menciptakan lulusan yang linear tetapi dipastikan mampu menyiapkan keterampilan yang relevan. Filsafat
berperan memberikan basis keterampilan. Filsafat ekonomi misalnya. Adapun mantiq memberikan tools berpikir
kritis, kreatif, inovatif, dan progresif.
Bandung, 05
Februari 2020
Wahyudin
Darmalaksana, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung