Jika Dante pernah membayangkan lapisan neraka,
maka Gaza hari ini adalah edisi revisi paling brutal dari visi tersebut—bukan
karena iblis berkepala tiga, melainkan karena keheningan dunia yang disebut
"beradab", yang lebih kejam dari hujan rudal. Di sinilah kita melihat
bagaimana politik internasional bukan soal kebenaran, melainkan soal distribusi
kepura-puraan: siapa yang bisa lebih pandai pura-pura peduli, tapi tetap
berpegangan tangan dengan kekuasaan yang menindas.
Dalam konteks ini, muncul satu ironi yang aneh
sekaligus menggugah: Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, pemimpin dari negara
dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang sering dituduh sebagai sosok
militeristik konservatif, justru mengambil langkah nyata: akan mengevakuasi
1.000 warga Gaza, bukan sebagai bentuk relokasi, tapi sebagai aksi kemanusiaan
temporer. Ini bukan hanya gestur, ini adalah punch in the face bagi
negara-negara Arab yang selama bertahun-tahun menjadikan Palestina sebagai
komoditas politik dalam pasar retorika mereka.
Panggung Timur Tengah dan Operasi Ketidakpedulian
Pertanyaan mendasar: mengapa negara-negara Arab,
yang berbagi sejarah, bahasa, dan iman dengan Palestina, justru semakin
bungkam? Mari kita bongkar ini seperti seorang psikoanalis Lacanian membedah
trauma.
Perjanjian Abraham (2020) adalah titik balik.
Bahrain, UEA, Maroko, dan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel dengan
imbalan akses ekonomi dan politik. Palestina? Sekadar catatan kaki. Seperti
yang sering kita dengar dari Zizek, the real tragedy is not when people
suffer, but when their suffering becomes irrelevant.
Mereka menanggalkan Palestina seperti seseorang
membuang topeng usang setelah pesta usai. Bahkan Mesir—yang berbatasan langsung
dengan Gaza—lebih banyak bermain sebagai pengatur pintu Rafah ketimbang
penolong. Dan ini menunjukkan satu hal: solidaritas tidak pernah otomatis
karena kesamaan agama. Solidaritas adalah pilihan politik—dan sebagian besar
tidak memilihnya.
Prabowo dan Kebijakan yang Melampaui Simbol
Kini mari kita tinjau langkah Prabowo. Ketika
dunia masih sibuk mencari “bahasa diplomatik yang tepat”, Indonesia justru
menyiapkan jalur evakuasi, rumah sakit, dan terapi pemulihan untuk anak-anak
dan korban trauma. Ini bukan heroisme kosong. Ini adalah anti-spektakel. Tidak
ramai di media Barat, tapi nyata.
Sebagai seorang mantan jenderal, Prabowo memahami
satu hal yang tidak dimiliki para analis Harvard: perang bukan hanya soal
senjata, tapi tentang luka psikologis, dan luka itu harus disembuhkan sekarang,
bukan setelah konferensi perdamaian ke-30.
Tentu saja, ada kritik. Apakah ini akan mengubah
situasi geopolitik? Tidak langsung. Tapi di dunia pasca-truth ini,
ketika empati jadi commodified, langkah Indonesia justru membuka ruang
etis baru. Ia memberi pesan pada dunia: you don’t need to be a superpower to
be super human.
Solusi Jangka Panjang: Melawan Kematian Harapan
Tapi mari kita tidak naif. Evakuasi 1.000 warga
adalah awal, bukan akhir. Solusi jangka panjang bagi Palestina memerlukan
perubahan paradigmatis:
1. Internasionalisasi Masalah Palestina
Palestina harus direbut kembali dari cengkeraman
Timur Tengah sempit dan diposisikan ulang sebagai soal keadilan universal.
Artinya, Eropa, Asia, dan Amerika Latin harus mengafirmasi bahwa ini bukan
konflik keagamaan, tapi soal kolonialisme modern.
2. Desakonstruksi Mitos "Dua Negara"
“Solusi dua negara” sudah menjadi mitos yang
digunakan untuk menunda keadilan. Kita perlu solusi baru yang tidak terjebak
pada kerangka geopolitik lama—entah itu satu negara sekuler, atau federasi hak
sipil lintas wilayah.
3. Boikot Kultural Global
Di sinilah peran masyarakat dunia. Bukan dengan
senjata, tapi dengan budaya, kampus, film, dan musik. Kita harus membuat
apartheid Israel menjadi sesuatu yang tak bisa ditoleransi secara sosial,
seperti apartheid Afrika Selatan dulu.
4. Pemulihan dan Pendidikan di Diaspora Palestina
Seperti langkah Indonesia, fokus pada generasi
muda Palestina di pengungsian—beri mereka pendidikan, trauma healing,
dan subjektivitas baru agar tidak tumbuh sebagai korban permanen.
Harapan Itu Tidak Sinis
Mereka yang menyebut tindakan Indonesia sebagai
tidak realistis sedang berbicara dari menara gading sinisme. Tapi dalam dunia
penuh horor yang banal ini, justru yang radikal adalah keberanian untuk tetap
percaya bahwa tindakan kecil, konkret, dan berbasis kasih sayang bisa menjadi
letupan pertama dari revolusi besar.
Prabowo telah membuka pintu. Dunia boleh tetap
berdebat, tapi Indonesia telah menunjukkan: jika kamu tidak bisa menghentikan
bom, setidaknya sambutlah para penyintas dengan pelukan hangat, bukan
perjanjian dingin.
Dan mungkin, dari luka-luka Gaza yang (telah dan
nantinya) dirawat di rumah sakit Indonesia, akan lahir generasi yang suatu hari
berkata:
“Kami dibantu oleh negara yang jauh, tapi tidak
diam. Maka kami bangkit, bukan karena dendam, tapi karena cinta pernah menyapa
kami.”
Muhammad Bambang Pontas Rambe, Penulis buku "Meneruskan Indonesia Maju" (2025) dan CEO Inspira Indonesia