-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Gaza dan Panggung Hipokrisi Global: Saat Indonesia Melampaui Retorika, Bertindak dalam Realitas

Sunday, April 13, 2025 | 4:10:00 PM WIB Last Updated 2025-04-13T09:13:25Z

 

 

 

 

 



 


 

 

 

Jika Dante pernah membayangkan lapisan neraka, maka Gaza hari ini adalah edisi revisi paling brutal dari visi tersebut—bukan karena iblis berkepala tiga, melainkan karena keheningan dunia yang disebut "beradab", yang lebih kejam dari hujan rudal. Di sinilah kita melihat bagaimana politik internasional bukan soal kebenaran, melainkan soal distribusi kepura-puraan: siapa yang bisa lebih pandai pura-pura peduli, tapi tetap berpegangan tangan dengan kekuasaan yang menindas.
 
Dalam konteks ini, muncul satu ironi yang aneh sekaligus menggugah: Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, pemimpin dari negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang sering dituduh sebagai sosok militeristik konservatif, justru mengambil langkah nyata: akan mengevakuasi 1.000 warga Gaza, bukan sebagai bentuk relokasi, tapi sebagai aksi kemanusiaan temporer. Ini bukan hanya gestur, ini adalah punch in the face bagi negara-negara Arab yang selama bertahun-tahun menjadikan Palestina sebagai komoditas politik dalam pasar retorika mereka.
 
 
Panggung Timur Tengah dan Operasi Ketidakpedulian
 
Pertanyaan mendasar: mengapa negara-negara Arab, yang berbagi sejarah, bahasa, dan iman dengan Palestina, justru semakin bungkam? Mari kita bongkar ini seperti seorang psikoanalis Lacanian membedah trauma.
 
Perjanjian Abraham (2020) adalah titik balik. Bahrain, UEA, Maroko, dan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel dengan imbalan akses ekonomi dan politik. Palestina? Sekadar catatan kaki. Seperti yang sering kita dengar dari Zizek, the real tragedy is not when people suffer, but when their suffering becomes irrelevant.
 
Mereka menanggalkan Palestina seperti seseorang membuang topeng usang setelah pesta usai. Bahkan Mesir—yang berbatasan langsung dengan Gaza—lebih banyak bermain sebagai pengatur pintu Rafah ketimbang penolong. Dan ini menunjukkan satu hal: solidaritas tidak pernah otomatis karena kesamaan agama. Solidaritas adalah pilihan politik—dan sebagian besar tidak memilihnya.
 
 
Prabowo dan Kebijakan yang Melampaui Simbol
 
Kini mari kita tinjau langkah Prabowo. Ketika dunia masih sibuk mencari “bahasa diplomatik yang tepat”, Indonesia justru menyiapkan jalur evakuasi, rumah sakit, dan terapi pemulihan untuk anak-anak dan korban trauma. Ini bukan heroisme kosong. Ini adalah anti-spektakel. Tidak ramai di media Barat, tapi nyata.
 
Sebagai seorang mantan jenderal, Prabowo memahami satu hal yang tidak dimiliki para analis Harvard: perang bukan hanya soal senjata, tapi tentang luka psikologis, dan luka itu harus disembuhkan sekarang, bukan setelah konferensi perdamaian ke-30.
 
Tentu saja, ada kritik. Apakah ini akan mengubah situasi geopolitik? Tidak langsung. Tapi di dunia pasca-truth ini, ketika empati jadi commodified, langkah Indonesia justru membuka ruang etis baru. Ia memberi pesan pada dunia: you don’t need to be a superpower to be super human.
 
 
Solusi Jangka Panjang: Melawan Kematian Harapan
 
Tapi mari kita tidak naif. Evakuasi 1.000 warga adalah awal, bukan akhir. Solusi jangka panjang bagi Palestina memerlukan perubahan paradigmatis:
 
1. Internasionalisasi Masalah Palestina
 
Palestina harus direbut kembali dari cengkeraman Timur Tengah sempit dan diposisikan ulang sebagai soal keadilan universal. Artinya, Eropa, Asia, dan Amerika Latin harus mengafirmasi bahwa ini bukan konflik keagamaan, tapi soal kolonialisme modern.
 
2. Desakonstruksi Mitos "Dua Negara"
 
“Solusi dua negara” sudah menjadi mitos yang digunakan untuk menunda keadilan. Kita perlu solusi baru yang tidak terjebak pada kerangka geopolitik lama—entah itu satu negara sekuler, atau federasi hak sipil lintas wilayah.
 
3. Boikot Kultural Global
 
Di sinilah peran masyarakat dunia. Bukan dengan senjata, tapi dengan budaya, kampus, film, dan musik. Kita harus membuat apartheid Israel menjadi sesuatu yang tak bisa ditoleransi secara sosial, seperti apartheid Afrika Selatan dulu.
 
4. Pemulihan dan Pendidikan di Diaspora Palestina
 
Seperti langkah Indonesia, fokus pada generasi muda Palestina di pengungsian—beri mereka pendidikan, trauma healing, dan subjektivitas baru agar tidak tumbuh sebagai korban permanen.
 
 
Harapan Itu Tidak Sinis
 
Mereka yang menyebut tindakan Indonesia sebagai tidak realistis sedang berbicara dari menara gading sinisme. Tapi dalam dunia penuh horor yang banal ini, justru yang radikal adalah keberanian untuk tetap percaya bahwa tindakan kecil, konkret, dan berbasis kasih sayang bisa menjadi letupan pertama dari revolusi besar.
 
Prabowo telah membuka pintu. Dunia boleh tetap berdebat, tapi Indonesia telah menunjukkan: jika kamu tidak bisa menghentikan bom, setidaknya sambutlah para penyintas dengan pelukan hangat, bukan perjanjian dingin.
 
Dan mungkin, dari luka-luka Gaza yang (telah dan nantinya) dirawat di rumah sakit Indonesia, akan lahir generasi yang suatu hari berkata:
 
Kami dibantu oleh negara yang jauh, tapi tidak diam. Maka kami bangkit, bukan karena dendam, tapi karena cinta pernah menyapa kami.”
 
 
 
 
 
Muhammad Bambang Pontas Rambe, Penulis buku "Meneruskan Indonesia Maju" (2025) dan CEO Inspira Indonesia

 

 

×
Berita Terbaru Update