Alkisah, seseorang mulai menulis. Dia tahu topik yang sedang ditulis.
Bahkan, tema. Suatu saat dia mengirimkan artikelnya ke jurnal. “Alhamdulillah,
artikel diterima (accepted),” ujarnya. Tapi tetep ada yang harus dia
kerjakan. Ya revisi! Pengulas artikel memberikan komentar. Mereka menulis beberapa
catatan panjang. Pengulas jeli sekali bisa menemukan “celah-celah” di artikel yang
padat. Telebih typo dan kesalahan teknis. “Bener-bener jeli,” ungkapnya.
Padahal, dia minta sejawat menelaah sebelum mengirim ke jurnal. Baik diskusi substansi
maupun obrol teknis. Konsultasi ahli pun tidak dilewatkan. Dia tahu ternyata
tidak ada naskah yang disebut final, tuntas, dan apatah lagi sempurna.
Kisah ini memberikan hikmah. Setiap orang idealnya merawat naskah. Orang
mengurus naskah sejak awal. Melalui telaah sejawat (peer-review) pasti
naskah tersebut meningkat kualitasnya. Naskah ini bisa jadi belum rampung di
tahun depan. Tapi dia tetep fokus menuntaskan naskah dimaksud. Karena terus
dipelihara meski sampai menahun, maka keberhasilan terbit di jurnal dipastikan tercapai.
Penulis pasti tahu kedalaman, keluasan, dan keterbatasan. Selebihnya, editor
dan pengulas jurnal yang menentukan, apakah naskah diterima ataukah ditolak (rejected).
Sebab, paling utama ialah tidak devisit naskah.
Wahyudin Darmalaksana, pegiat Kelas Menulis