-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Bagian Dua: Duduk Di Bangku Sekolah

Friday, February 18, 2022 | 4:21:00 PM WIB Last Updated 2022-02-18T09:21:08Z
 



Tahun 1978-an di kampungku belum berdiri taman kanak-kanak. Waktu itu kelas satu sampai kelas dua sekolah dasar menjadi taman anak yang sesungguhnya. Anak-anak di sini masuk kelas satu sekolah dasar rata-rata di usia tujuh tahun. Di sebelah masjid alun-alun ada satu bangunan menghadap selatan dibagi dua ruangan untuk kelas satu dan kelas dua. Di tempat terpisah yang tidak terlalu jauh di bagian bawah dengan turun sekitar satu meter yang lebih menjorok ke sebelah utara ada satu bangunan lagi memanjang yang digunakan untuk ruang kepala sekolah menyatu dengan ruang guru dan berbanjar ruang kelas tiga, kelas empat, kelas lima dan kelas enam. Gedung kedua ini bermuka-mukaan dengan balai desa yang dibatasi oleh halaman sekolah tempat tanaman dan olah raga serta bermain, dibelah oleh jalan desa, dan halaman balai desa yang biasa digunakan untuk tempat pencoblosan ketika pemilihan kepada desa. Antara satu kelas dengan kelas yang lain dipasang sekat pembatas yang sewaktu-waktu bisa dibuka hingga menjadi ruang pertemuan untuk berbagai pertunjukan di saat kenaikan kelas. Di ujung sekolah persis di depan ruang guru ada lonceng untuk tanda masuk kelas, istirahat, dan jam pulang sekolah yang digantungkan pada kayu di emper gedung sekolah. Di samping balai desa di sebelah timur ada puskesmas untuk berobat warga dan di sebelah baratnya ada masjid desa juga madrasah tsanawiyah di samping selatan masjid desa. Di jam sekolah di pagi hari suasana alun-alun terlihat ramai oleh anak-anak sekolah, guru, pejalan kaki, pegawai balai desa, dan pengendara motor.
 
Di tengah alun-alun tumbuh pohon beringin yang rindang. Di bawah rindang pohon beringin yang sejuk biasanya ditempati penjual jajanan untuk anak-anak sekolah. Saat kelas satu aku diberi uang jajan oleh emak sebesar Rp. 5 Rupiah dan waktu kelas dua naik menjadi sebesar Rp. 10 Rupiah. Uang Rp. 5 Rupiah berupa logam berwarna perak dengan lambang burung dan di baliknya lagi lambang keluarga berencana. Sedangkan uang Rp. 10 Rupiah berupa logam aluminium berwarna kekuningan dengan diameter lebih kecil dibanding uang Rp. 5 Rupiah. Uang Rp. 5 Rupiah cukup untuk membeli jajanan lima buah peremen atau lima buah kerupuk. Sedangkan uang Rp. 10 Rupiah seharga dengan satu gelas es cendol atau sepiring lotek ukuran kecil. Tidak banyak jajanan di situ kecuali sesekali datang penjual mainan dari tempat yang jauh. Anak-anak lebih banyak bermain di jam istirahat atau pulang ke rumah. Rumahku tidak jauh terletak di belakang balai desa yang dibelah oleh sungai kecil sekitar lima menit ditempuh dengan berjalan kaki melewati jembatan yang terbuat dari bilahan pohon aren.
 
Di kelas satu sekolah dasar di samping banyak latihan bernyanyi kami belajar berhitung dengan menggunakan lidi. Bapak membuatkan lidi hitungan dari bambu yang aku ikat dengan karet gelang. Juga belajar membaca karena sampai kelas dua sekolah dasar kami harus mulai bisa membaca. Serta belajar menulis menyambungkan huruf-huruf menjadi kata. Pergi ke sekolah kadang kami memakai sandal jepit dan masih langka anak-anak memakai sepatu. Sepatu rata-rata terbuat dari bahan karet berwarna hitam yang selain awet juga tahan air kecuali kalau sudah retak dan kemudian sobek bila terlalu lama dipakai. Ada juga teman-teman cukup dengan kaki telanjang tanpa sepatu atau sandal kalau pergi sekolah. Sandal jepit kadang putus talinya dan diperbaiki dengan cara memasang paku melintang di bagian bawah untuk penahan tali yang copot. Sandal jepit sering sampai menipis hingga bolong di bagian bawah yang sering diinjak tumit. Waktu itu baju untuk sekolah belum memakai seragam merah putih tetapi celana hitam dan baju putih. Baju putih terkadang terkena getah pohon pisang yang menimbulkan berkas berwarna kecoklatan karena kalau sedang istirahat jam sekolah kadang bermain di kebun. Atau setelah keluar sekolah tidak langsung pulang ke rumah tetapi bermain dulu. Jadi baju putih untuk sekolah cepat kusam warnanya. Kadang satu sampai dua kancing baju copot terjatuh dan hilang untuk diganti dengan peniti dibantu oleh emak. Bapak mengoleskan minyak rambut yang kental miliknya ke kepalaku kalau aku pergi sekolah dan aroma minyak rambut tercium menyengat. Kedua betis kaki agar terlihat licin diolesi minyak kelapa hasil olahan sendiri. Celana sekolah kadang pengaitnya juga copot dan celana cepat menipis belakangnya sampai robek karena sering dipakai serodotan di tanah.
 
Di masa kanak-kanak banyak permaian seperti pecle atau sondah, galah, gatrik, sapintrong yang terbuat dari karet gelang, kasti, main kelereng, main bola, oray-orayan, boy-boyan, bebedilan yang terbuat dari bantang bambu kecil, layang-layang, dan lain-lain. Ada juga permainan ucing-ucingan, susumputan, ngubur beling, sosorodotan, mancing ikan di sungai, anyang-anyangan, dodokteran, wawayangan, ngadu karet, dan sebagainya. Layang-layang dibuat oleh bapak dari rancang bambu, kertas wajit, dan lem perekat yang terbuat dari tepung ubi jalar sedangkan talinya dari benang kasur. Bola untuk bermain bola ada dua jenis yaitu bola plastik dan bola karet. Bola plastik biasanya untuk anak-anak kelas satu dan kelas dua sedangkan bola karet sering digunakan oleh anak kelas enam. Bola plastik yang baru enak ditendang karena di dalamnya penuh oleh angin. Namun, bola plastik cepat bocor, gembos, dan sobek terkena duri-duri tanaman pohon di halaman sekolah dan tentu kalau sudah kempes tidak enak ditendang. Bola karet lumayan lebih awet tetapi sangat keras dan cukup berat hingga kaki terasa nyeri kalau menendang dan lebih nyeri lagi kalau dari tendangan orang menyasar tubuh telebih terkena dada. Kadang tendangan bola karet melambung ke langit dan jatuh ke tanah hingga mantul menubruk kaca jendela sekolah atau kaca jendela balai desa sampai pecah. Tentu kejadian seperti itu menjadi urusan karena selain dihukum oleh guru juga harus mengganti kaca yang pecah. Sedangkan bola asil digunakan oleh orang dewasa kalau pertandingan sepak bola antar-wilayah di lapangan yang tidak terlalu jauh dari alun-alun.   
 
Bersambung…    
 

×
Berita Terbaru Update