Oleh: Imam Safe’i (Kepala Biro AUPK UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Disampaikan pada acara Rapat Kerja Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung
Djati Bandung di University Hotel Yogyakarta, 9-11 Februari 2023
Siapa pun yang punya ide dan gagasan untuk datang dan menikmati
sajian Bakmi Jowo milik Mbah Gito atau dikenal dengan Bakmi Jowo Mbah Gito,
pasti ada cita-ciata tersembunyi
yang ingin disampaikan dan didapatkan. Saya hanya menduga setidaknya tiga
pembelajaran penting yang ingin diperkenalkan di tempat ini yakni Kekhasan,
Kesederhanaan, dan Totalitas.
Banyak sekali jajanan di Yogya termasuk jenis menu bakmi, tetapi kenapa Bakmi Jowo Mbah Gito cukup dikenal dan menjadi destinasi kuliner siapa saja yang berkunjung ke Yogya. Mbah Gito berhasil membangun Image Bakmi Jowo menjadi Trade Mark yang sekaligus menciptakan Company Branding usahanya. Setiap orang berkunjung ke Yogya dan bicara kuliner maka mereka membayangkan Bakmi Jowo Mbah Gito yang sudah menjadi buah bibir khalayak. Ini adalah branding yang sudah menjadi image.
Ada jargon menarik bagi penikmat kuliner yaitu mencari Makan Enak bukan Tempat Enak. Fasilitas Bakmi Jowo tentu lebih sederhana dibandingkan dengan café-café modern dan hotel berbintang. Tetapi kenapa mereka berbondong-bondong dan bahkan terkadang rela antrian berlama-lama di tempat yang sederhana yang tidak seenak dan senyaman di hotel. Ini artinya bahwa Bakmi Mbah Gito telah membuktikan yang enak itu tidak harus mewah dan mahal. Dan ternyata orang-orang datang ke restoran atau rumah makan tidak semata-mata untuk menikmati kuliner tetapi kadang kala lebih untuk membangun kebersamaan. Enak itu tidak harus mahal tetapi Kebersamaan itu Enak dan Mahal. Sederhana sekalipun kalau memiliki kekhasan (distingsi) pasti akan menjadi destinasi.
Kalau dilihat dari posisi dan lokasi, keberadaan Bakmi Mbah Gito berada dalam pemukiman warga yang terkesan dhelik/tersembunyi dan tergolong tidak se-strategis lokasi Mall dan Hotel-hotel berbintang pada umumnya. Kenapa Mbah Gito optimis, yakin dan akhirnya berhasil mengibarkan trade mark Bakmi Jowo di jagat kuliner? Kita dapat membaca pikiran Mbah Gito bahwa beliau meyakini terhadap apa yang akan beliau lakukan. Yang pasti semboyan para enterpreneur telah melekat di dada beliau sebelum memulainya yaitu Keberhasilan dan masa depan adalah milik mereka yang yakin terhadap mimpi-mimpi indahnya.
Banyak sekali jajanan di Yogya termasuk jenis menu bakmi, tetapi kenapa Bakmi Jowo Mbah Gito cukup dikenal dan menjadi destinasi kuliner siapa saja yang berkunjung ke Yogya. Mbah Gito berhasil membangun Image Bakmi Jowo menjadi Trade Mark yang sekaligus menciptakan Company Branding usahanya. Setiap orang berkunjung ke Yogya dan bicara kuliner maka mereka membayangkan Bakmi Jowo Mbah Gito yang sudah menjadi buah bibir khalayak. Ini adalah branding yang sudah menjadi image.
Ada jargon menarik bagi penikmat kuliner yaitu mencari Makan Enak bukan Tempat Enak. Fasilitas Bakmi Jowo tentu lebih sederhana dibandingkan dengan café-café modern dan hotel berbintang. Tetapi kenapa mereka berbondong-bondong dan bahkan terkadang rela antrian berlama-lama di tempat yang sederhana yang tidak seenak dan senyaman di hotel. Ini artinya bahwa Bakmi Mbah Gito telah membuktikan yang enak itu tidak harus mewah dan mahal. Dan ternyata orang-orang datang ke restoran atau rumah makan tidak semata-mata untuk menikmati kuliner tetapi kadang kala lebih untuk membangun kebersamaan. Enak itu tidak harus mahal tetapi Kebersamaan itu Enak dan Mahal. Sederhana sekalipun kalau memiliki kekhasan (distingsi) pasti akan menjadi destinasi.
Kalau dilihat dari posisi dan lokasi, keberadaan Bakmi Mbah Gito berada dalam pemukiman warga yang terkesan dhelik/tersembunyi dan tergolong tidak se-strategis lokasi Mall dan Hotel-hotel berbintang pada umumnya. Kenapa Mbah Gito optimis, yakin dan akhirnya berhasil mengibarkan trade mark Bakmi Jowo di jagat kuliner? Kita dapat membaca pikiran Mbah Gito bahwa beliau meyakini terhadap apa yang akan beliau lakukan. Yang pasti semboyan para enterpreneur telah melekat di dada beliau sebelum memulainya yaitu Keberhasilan dan masa depan adalah milik mereka yang yakin terhadap mimpi-mimpi indahnya.
Siapa pun yang berkunjung ke Bakmi Jowo Mbah Gito pasti
mendapatkan banyak pembelajaran yang berharga. Khusus para aktor pendidikan,
banyak filosofis menarik bisa digali di tempat seperti ini. Kita bisa belajar
tentang kekhasan (branding), dayajuang (adversity), bahkan riyadhoh-riyadhoh
spiritual (spiritual
quotient) yang mengantarkan keberhasilan institusi. Kita juga bisa menggali lebih dalam lagi
untuk menjawab kemengapaan. Mengapa pilih lokasinya tersembunyi, mengapa buka
pukul 11.00 dan tutupnya pukul 11 malam (23.00), mengapa pramusajinya harus
berkostum jawa dan seterusnya. Kalau dengan kacamata riset sosial khususnya
dengan pendekatan ethnography, kita akan
mampu memaknai perihal Locus, Focus, dan hal-hal yang Khusus. Dengan pendekatan
ini kita akan mampu Mengungkap yang tidak
tampak. Karena riset sesungguhnya untuk menjawab rasa keingintahuan, maka kalau
dengan pendekatan ilmu ma’rifat atau orang yang dilanda asmara Makin terpejam
makin tampak. Makin banyak kita berpikir dan merenung makin banyak hal-hal yang tampak dalam
matahati kita.
Belajar dari apa yang dilakukan Mbah Gito untuk membuat Bakmie Jowo
populer dan terkenal, saya kira lembaga-lembaga pendidikan juga bisa menirukan.
Ternyata tidak harus bangunannya megah, tempatnya di kota, tanahnya luas, dan
hal-hal yang bernilai mahal yang bisa membuat terkenal tetapi kekhasan yang
menunjukkan inovatif dan kreativitas hal ini akan menjadi kekhasan yang pasti
akan menjadikan berbeda dengan yang lain.
Kreativitas dan inovasi ini biasanya
dicirikan oleh tiga hal yakni The First, The Best or Different. Oleh karena itu
pastikan bahwa yang kita lakukan belum pernah dilakukan orang lain (the first),
kalau ternyata sudah dilakukan banyak orang pastikan bahwa yang kita lakukan
ini adalah yang terbaik, dan kalau ternyata yang kita lakukan bukan yang
pertama dan terbaik maka pastikan yang kita lakukan beda dengan orang lain
(different).
Dengan setiap lembaga mampu melakukan
salah satu, salah dua, atau ketiga-tiganya dari tiga hal yakni yang pertama,
yang terbaik dan yang berbeda sudah pasti keunggulan, kekhasan atau distingsi
ini akan terbangun dalam wujud Branding.
Dan pada akhirnya setiap lembaga akan
bisa mengatakan saya adalah lembaga satu-satunya. Satu-satu dalam bidang kajian
atau keunikan tertentu yang meskipun diikuti oleh lembaga yang tetap ini diarahkan ke satu lembaga tertentu
karena memang itu dilakukan pertama atau terbaik. Seperti beberapa pondok
pesantren kita juga sangat mengenal brandingnya masing-masing dengan
kehebatannya dalam bidang bahasa Asing, ilmu alat (nahwu/shorof), ilmu falaq,
tahfidz dan lain-lain. Begitu juga dengan beberapa kampus yang tekenal akan
ma’had kampusnya, kampus entrepreneurship, kampus hijau (green campus) dan
lain-lain. Keunggulan dan kekhasan
masing-masing ini akan mengantarkan popularitas lembaga karena mereka menjadi
lembaga satu-satunya. Level satu-satunya ini bisa dimulai dari tingkat
kabupaten, provinsi, negara dan bahkan satu lembaga yang berani meng-claim
dirinya sebagai satu-satunya di dunia [].