-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Hidupkan Empati, Kunci Atasi Bullying di Sekolah

Thursday, August 10, 2023 | 7:30:00 AM WIB Last Updated 2023-08-10T01:31:37Z

 

Ilustrasi bullying.(SHUTTERSTOCK)


Perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah kini menjadi isu serius dan perhatian skala global. Menurut Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), dalam periode Januari hingga Mei 2023, pihaknya berhasil mendokumentasikan setidaknya 12 kasus bullying yang terjadi di berbagai sekolah di Indonesia.


Beberapa kasus bullying tersebut mengakibatkan kematian tragis. Contohnya, Ibrahim Hamdi, seorang siswa kelas 1 SD di Kota Medan, meninggal akibat menjadi korban bullying oleh lima kakak kelasnya. Di Sulawesi Utara, seorang siswa MTS di Kotamobagu juga meninggal setelah dikeroyok oleh sembilan temannya, yang berulang kali membanting dan menendangnya di bagian perut. 


Di Temanggung, Jawa Tengah, seorang siswa SMP melakukan tindakan membakar sekolahnya sendiri sebagai akibat dari kesedihan dan sakit hati karena seringkali mendapatkan bullying, termasuk dikeroyok dan diejek oleh teman-temannya dengan menggunakan nama orangtuanya.


Kejadian-kejadian tersebut mencerminkan dampak serius dan berbahaya dari tindakan bullying yang harus segera ditangani.


Tingginya Kasus Bullying


Menurut laporan KPAI pada 2018, terdapat 161 kasus teridentifikasi dalam bidang pendidikan, dengan 36 kasus (22,4%) melibatkan anak-anak sebagai korban kekerasan dan bullying, serta 41 kasus (25,5%) melibatkan anak-anak sebagai pelaku kekerasan dan pelecehan. 


Data ini menyoroti situasi yang mengkhawatirkan karena sekolah seharusnya menjadi tempat belajar yang aman, dan angka ini mencerminkan pencemaran dalam dunia pendidikan. Fenomena dan kejadian tersebut adalah contoh ekstrem dan fatal dari intimidasi bullying, baik fisik maupun psikis, yang dilakukan oleh siswa terhadap teman-teman mereka di lingkungan sekolah (Rahayu & Permana, 2019).


Bullying merupakan perilaku yang menggunakan kekuasaan dengan maksud menyakiti seseorang secara fisik, verbal, atau psikis. Ada berbagai alasan di balik tindakan bullying ini, salah satunya adalah kegagalan pelaku bullying untuk memahami perasaan dan kondisi mental korban. 


Beberapa peneliti setuju bahwa pelaku bullying cenderung memiliki ciri-ciri cold cognition yang membuat mereka kesulitan dalam empati dan memahami perasaan orang lain. Mereka cenderung tidak menunjukkan rasa kasihan, rasa bersalah, dan kurang keinginan untuk memahami kondisi korban, sehingga dengan mudah melancarkan tindakan bullying mereka.


Adakan Pelatihan Empati


Menurut Goleman (2006) dalam bukunya "Emotional Intelligence," empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, yakni kemampuan untuk mengetahui kondisi emosional orang lain (Rachmah, 2014). 


Bullying erat kaitannya dengan rendahnya empati pelaku. Semakin lemah kemampuan seseorang untuk berempati, semakin banyak peluang mereka untuk terlibat dalam intimidasi. Individu dengan empati rendah, yaitu ketidakmampuan untuk menanggapi tekanan dan ketidaknyamanan korban, biasanya tidak dapat menghubungkan perilaku antisosial mereka dengan tanggapan emosional orang lain. 


Itu karena mereka tidak tahu, tidak mengerti dan tidak merasakan apa yang korbannya rasakan. Para pelaku hanya menyadari bahwa teman-teman mereka menerima perlakuan mereka dan tidak menunjukkan empati terhadap korban bullying. Tanpa ada teguran atau kritik, para pelaku terus mengulangi perilaku negatif tersebut.


Ketidakmampuan pelaku untuk berempati mengakibatkan ketidakmampuan untuk melihat perspektif orang lain, mengenali perasaan orang lain, dan mengungkapkan keprihatinan mereka secara memadai. Kurangnya kepekaan terhadap keadaan orang lain membuat orang yang terkena dampak memahami kondisi korban atau perasaan sedih, tidak nyaman dan terhina yang mereka rasakan. Akibatnya, subjek tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan korban saat di-bully. 


Aksi bullying yang disebabkan oleh kurangnya empati ini tentu saja akan mendatangkan dampak yang besar kepada pelaku dan korban. Pelaku akan memiliki watak keras, merasa memiliki kekuasaan, berhadapan dengan hukum dan bahkan jika tidak ada penindakan yang tegas dari pihak yang berwenang, pelaku akan terus melancarkan aksi-aksi bullying-nya. 


Korbannya merasa cemas, depresi, gangguan mental, luka batin, luka fisik, dan bahkan dapat mengantarkan pada bunuh diri seperti kasus seorang remaja yang nekat bunuh diri dengan membakar tubuhnya lantaran depresi akibat sering di-bully oleh teman sebayanya di Lampung Timur pada Agustus tahun lalu 2022.


Solusi yang dapat dihadirkan untuk mengatasi kasus bullying yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan empati siswa di sekolah adalah dengan mengadakan pelatihan empati.


Menurut penelitian, pelatihan untuk meningkatkan empati terhadap pelaku bullying merupakan langkah pencegahan awal yang efektif dalam mengurangi kasus bullying di sekolah. Diharapkan bahwa melalui pelatihan ini, tindakan bullying di lingkungan sekolah dapat berkurang karena semakin besar tingkat empati yang dimiliki oleh seseorang, semakin jarang orang tersebut akan terlibat dalam tindakan bullying. Pelatihan ini menjadi penting karena memiliki potensi untuk mengurangi maraknya kejadian bullying di lingkungan sekolah.


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Makkiyatur Rahmah dan rekannya terhadap 12 siswa remaja di kota Malang menunjukkan bahwa pelatihan empati memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi intensitas perilaku bullying pada remaja. Dalam penelitian tersebut, 7 dari 12 siswa yang terlibat adalah laki-laki, sementara 5 siswa lainnya adalah perempuan.


Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pelatihan empati berperan sebagai variabel bebas yang berhasil mengurangi intensitas perilaku bullying pada remaja secara efektif. Ini berarti bahwa hipotesis penelitian yang mengajukan bahwa pelatihan empati dapat mengurangi intensitas perilaku bullying pada remaja telah terbukti benar berdasarkan temuan dari penelitian ini (Rahmah, 2021). 


Namun, membangun empati bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan upaya kolaboratif antara lembaga pendidikan, guru, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan. Pertama, sekolah harus memasukkan pembelajaran tentang empati ke dalam kurikulum. Ini dapat dilakukan melalui pendekatan yang terintegrasi, seperti pembelajaran karakter, diskusi kelompok, simulasi, dan program bimbingan yang bertujuan meningkatkan kesadaran emosional siswa.


Guru dan staf sekolah perlu menjadi teladan dalam melatih empati dalam interaksi mereka dengan siswa. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan guru dalam pelatihan dan pengembangan profesional yang mendukung pengembangan keterampilan sosial dan emosional.


Orang tua juga memainkan peran penting dalam membangun empati pada anak-anak mereka. Mereka dapat melibatkan diri dalam kegiatan di sekolah, mendukung program-program empati yang ada, dan memberikan teladan empati dalam kehidupan sehari-hari.


Masyarakat harus memahami pentingnya membangun empati dalam pendidikan. Dukungan dan kerja sama antara lembaga pendidikan, komunitas, dan lembaga sosial lainnya akan membantu menciptakan lingkungan yang mempromosikan empati dan mengurangi insiden bullying.


Kesimpulannya, kekurangan empati dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap pendidikan di lingkungan sekolah, terutama dalam konteks bullying. Oleh karena itu, membangun empati harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan. Dengan membangun empati, kita tidak hanya mengurangi insiden bullying, tetapi juga menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif, aman, dan berdaya dukung untuk perkembangan pribadi yang positif bagi setiap siswa.


Ahmad Muzayyin, mahasiswa semester 3 Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.



DAFTAR PUSTAKA

Rachmah, D. N. (2014). Empati pada pelaku bullying. Jurnal Ecopsy, 1(2), 51–58.

Rahayu, B. A., & Permana, I. (2019). Bullying di sekolah: Kurangnya empati pelaku bullying dan pencegahan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(3), 237–246.

Rahmah, M. (2021). Pelatihan empati untuk mengurangi intensitas perilaku bullying pada remaja. Psychological Journal: Science and Practice, 1(1), 1–8.



×
Berita Terbaru Update