Menulis artikel ilmiah adalah belajar tentang cinta. Belajar memahami lingkup, cakupan, dan disiplin. Belajar mengenal subjek, karakter, dan wataknya. Belajar menangkap isu. Menentukan topik dan tema. Dan belajar menemukan fokus studi. Ketika ku memulai menulis, praktis ku mesti konsentasi. Ku mesti mengerti arti keluasan dan kedalaman. Ku mesti terjun ke lautan hingga dasar samudera untuk menemukan mutiara, bukan pengembaraan di tepian pantai hanya menemukan butiran pasir di rumah keong yang kosong.
Ku mesti menelusuri hasil-hasil penelitian terdahulu. Harus mengetahui apa yang telah mereka temukan. Teori, metode, dan analisis apa yang digunakan. Bagaimana pembahasan mereka. Apa kesimpulan mereka. Apa signifikansinya. Apa implikasi dan manfaatnya. Apa keterbatasan dan ruang sebelah mana yang mereka sisakan untuk penelitian lebih lanjut. Mereka merekomendasikan apa saja. Lantas ku hendak meneliti apa, teori mana yang digunakan, dan metode serta analisis apa. Apakah ku hendak mendukung temuan mereka. Apakah ku hendak menolak temuan mereka. Ataukah ku hendak mesitensiskan temuan-temuan mereka. Tentu ku tidak boleh galau. Ku mesti ambil langkah tegas menuju celah berpijak pada penelitian-penelitian terdahulu.
Giliran ku harus membuat kerangka berpikir berupa diagram secara garis besar alur logis berjalannya penelitian. Ku harus ambil teori utama dari tinjauan pustaka yang menjadi payung tema penelitian. Harus menghubungkan konsep-konsep dalam bentuk kerangka yang menjadi pembahasan penelitian. Harus mengerucutkan perbincangan menuju fokus studi sebagai jalan menuju akhir pembahasan. Kerangka memang kompleks tetapi bukan rumit. Kompleksitasnya bukan saja menyangkut hubungan teori dengan konsep, melainkan pula hubungan antara konsep dengan konsep. Disinilah nalar dan logika pertaruhannya.
Tiba di sini ku mesti merumuskan dalam bentuk rumusan masalah. Mesti menetapkan satu pertanyaan utama tunggal berikut dengan satuan terperinci. Mesti menegaskan tujuan penelitian dengan menghindari kata dan kalimat yang tidak perlu yang dapat membelokan jalan dari tujuan. Ku pun mesti menjanjikan signifikansi penelitian berikut implikasi manfaatnya bagi para pengguna hasil penelitian.
Saat menentukan jenis penelitian terkadang dirasakan jenis kualitatif saja tidak cukup perlu ditambah jenis kuantitatif. Terasa sekali terkadang ingin menggabungkan kedua jenis ini dalam bentuk mixed method. Ketika ku harus menerapkan studi lapangan setidaknya ku mesti melakukan pengamatan, dokumentasi, dan wawancara. Ada kalanya juga pendekatan yang disiapkan sebagai perangkat analisis terasa kurang tepat sehingga dibutuhkan alat interpretasi lain untuk menarik sebuah kesimpulan.
Tiba ku mesti menunjukan hasil penelitian. Terkadang ku lupa tidak menelusuri ulang pendahuluan tentang pertanyaan yang hendak dihasilkan jawabannya. Terkadang ku mengulang hasil-hasil yang pernah ditemukan orang lain. Kebingungan kerap menghinggapi tentang apa yang mesti ditayangkan. Tentang bagaimana mengabstraksikan apa yang ditayangkan itu. Hingga ku harus membahas hasil, memayunginya dengan teori yang telah disiapkan di bagian pendahuluan, dan mengaitkannya dengan realita. Ku pun mesti menganalisis hasil dengan pendekatan yang telah dijanjikan di bagian metode penelitian. Ku mesti membandingkan dengan temuan-temuan terdahulu dalam rangka membuktikan rumusan masalah. Ku harus memastikan seluruh pertanyaan penelitian telah terjawab. Perlu dipastikan pula ku telah sampai di tujuan penelitian. Ku mesti menyadari keterbatasan-keterbatasan dalam pembahasan ini.
Ketika ku menyimpulkan, terkadang hanya pengulangan bagian pembahasan, bukan merupakan hasil akhir. Rumusan masalah belum tentu terjawab dengan adanya hasil akhir ini. Belum tentu pula pertanyaan utama terjawab. Belum tentu penelitian telah sampai tiba pada tujuan. Signifikansi belum tentu terasa bagi para penerima manfaat hasil penelitian. Keterbatasan penelitian bisa jadi tidak disadari hingga ku lupa memberi peluang penelitian lebih lanjut. Terlebih rekomendasi bagi kebijakan pun entah. Begitupun cinta, hakikatnya entah, kecuali hanya belajar mencinta.
Yudi W. Darmalaksana, Akademisi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung