Hasil dan
Pembahasan
Hadis
dan ilmu hadis mengalami perkembangan dalam sejarah (Wahid & Masri, 2018), dari tradisi lisan ke digital (Maulana, 2016). Hadis adalah sesuatu yang berasal dari Nabi yang meliputi
perkataan, perbuatan, pernyataan dan lain-lain (Soetari, 1994). Hadis disebut juga sunnah, hadis adalah kumpulan hadis yang
terdapat di kitab-kitab hadis, dan sunnah adalah praktik umat muslim di dalam
tradisi dan budaya (Soetari, 1994). Di dunia Islam, hadis disepakti sebagai sumber Islam kedua
setelah al-Qur’an (Darmalaksana et al., 2017).
Secara
umum, ilmu hadis dibagi dua, yaitu sejarah periwayatan hadis dan metodologi
ilmu hadis (Soetari, 2005). Sejarah periwayatan hadis membicarakan asal-usul hadis sejak
penyampaian dari Nabi, diriwayatkan kepada orang dari generasi ke generasi, dan
dibukukan dalam kitab hadis (Soetari, 2005). Metodologi ilmu hadis berfungsi untuk menguji otentisitas
hadis apakah benar dari Nabi ataukah hadis palsu (Masrur, 2012).
Ilmu
hadis mengalami perkembangan (Andariati, 2020), sejak masa klasik hingga era kontemporer (Anggoro, 2019). Pertama, berkembang metode takhrij hadis (Qomarullah, 2016) untuk menguji otentisitas dan validitas hadis dengan cara
mengelurkan hadis-hadis dari kitab hadis (Soetari, 2015). Kedua, berkembang metode syarah hadis (Muhtador, 2016) untuk menjelaskan makna teks hadis (Sagir, 2017). Dalam metode syarah
hadis berkembang pendekatan tekstual melalui analisis kebahasaan dan pendekatan
kontekstual (Alamsyah et al., 2020) melalui analisis sebab-sebab
kemunculan hadis (Lestari, 2015), ilmu-ilmu sosial (Suryadilaga, 2017), seperti antropologi (Rohmana, 2015), sosiologi (Assagaf, 2015), genealogi (Taufik, 2020a), dan lain-lain.
Pemerintah
di Indonesia telah menetapkan kebijakan berkenaan dengan pengembangan
penelitian hadis (Tim Penyusun, 2018b). Kebijakan menetapkan agar hadis diteliti dengan pendekatan
interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner (Tim Penyusun, 2018a). Interdisipliner adalah penelitian dengan pendekatan ilmu yang
serumpun (Rohmatika, 2019). Multidisipliner adalah penelitian dengan pendekan ilmu yang
tidak serumpun (Rohmatika, 2019). Transdisipliner adalah penelitian dengan pendekatan
integrasi ilmu (Sudikan, 2015). Kebijakan ini sejalan dengan regulasi tentang implementasi
integrasi ilmu antara ilmu Islam dan ilmu umum di pendidikan tinggi Islam di Indonesia
(Indonesia, 2019).
Saat
ini terdapat peluang sains dan teknologi dalam penelitian hadis. Pertama,
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dalam penelitian hadis. Pemanfaatan
teknologi informasi berperan untuk pengembangan metode takhrij hadis (Darmalaksana, 2020d). Kedua, pemanfaatan hadis sebagai inspirasi untuk
pengembangan sains dan teknologi. Hal ini menjadi peluang untuk pengembangan
metode syarah hadis melalui pendekatan multidisipliner dan transdisipliner dari
kemajuan sains dan teknologi (Taufik, 2020b).
Teknologi
informasi berperan untuk pengembangan metode takhrij hadis, baik penelitian
periwayatan hadis maupun penelitian teks hadis (T. M. S.
T. Ismail et al., 2014). Ilmu hadis menetapkan
lima indikator validitas hadis, yaitu: 1) persambungan periwayatan hadis; 2)
kualitas periwayat hadis; 3) kapasitas periwayat hadis; 4) keabsahan teks
hadis; dan 5) kemurnian teks hadis. Pada masa klasik, para ahli hadis melakukan
validasi hadis dengan cara konvensional (M. A. M. Ali et al., 2015). Pada era modern, para
ahli hadis dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi secara inovatif (Najeeb, 2014) dalam pengujian validitas
hadis (Baraka & Dalloul, 2014).
Informasi
digital tentang hadis telah menyiapkan sumber daya yang melimpah (Alkhatib
et al., 2017). Kondisi ini menjadi peluang bagi para peneliti untuk
merancang mesin pencarian hadis (Darmalaksana et al., 2020) secara multi-bahasa (Hassan & Atwell, 2016), sehingga peneliti hadis
dapat menilai kualitas informasi hadis (Karim & Hazmi, 2005). Pengambilan informasi hadis
dari himpunan data digital (Mahmood et al., 2017) bermanfaat bagi penemuan
pengetahuan hadis (Jbara, 2010). Peneliti hadis berperan menentukan
validitas hadis (Ghazizadeh
et al., 2008) dan ontentisitas hadis (Hakak et
al., n.d.) dengan cara menampilkan visualisasi rantai
periwayat hadis (Shukur
et al., 2011).
Secara
operasional, penelitian hadis meliputi penambangan data hadis (Saloot et al., 2016) dan pemrosesan literatur
hadis (A. M. Azmi et al., 2019) dengan menggunakan sistem
multi-agen (Najeeb, 2015), sehingga dihasilkan
klasifikasi hadis (Alkhatib, 2010). Berbasis pada teknologi
informasi ini, berbagai klasifikasi hadis dapat diperoleh, seperti klasifikasi
hadis yang positi dan negatif (Al
Faraby et al., 2018), klasifikasi derajat
hadis (Najiyah et al., 2017), pencocokan klasifikasi
hadis (Hasan et
al., 2018), dan klasifikasi topical teks hadis (Al-Kabi et al., 2015). Para ahli teknologi
informasi mampu merancang mesin untuk meningkatkan ekstraksi pengetahuan
pengklasifikasi hadis (Aldhaln
et al., 2012) dan mereka mampu meningkatkan kinerja
pengklasifikasian hadis (Aldhlan
et al., 2012). Hal ini merupakan pengembangan teknologi
informasi tentang teknik verifikasi hadis (Yusoff et al., 2010) berkenaan dengan indexing
hadis (Harrag
et al., 2008).
Selain
itu, hadis dapat dipahami dengan pendekatan sains modern (Abd Razzak, 2011). Di antaranya perspektif
hadis tentang manajemen (Hamid & Sa’ari, 2011), sistem ekonomi (Usman et al., 2015), dan kumpulan hadis
tentang ekonomi (Idri,
2010). Hadis juga membahas tentang kedokteran (Deuraseh, 2006), kesehatan (Akbar & Budiyanto, 2020), wabah penyakit (A. S.
Azmi, 2020), pengobatan (Safarsyah, 2018), penyembuhan dengan madu (Taghavizad, 2011), dan hadis-hadis tentang
farmasi (Dalil, 2017). Secara spesifik, hadis
mengulas tentang kesahatan gigi (A. Fauzi, 2018), sikat gigi alami (Niazi et al., 2016), cara Nabi menyikat gigi (Aumeeruddy
et al., 2018). Hal ini menjadi ispirasi bagi kedokteran gigi di
zaman modern (Hadith) (Marzband & Karnami, 2016).
Ditemukan
terdapat inspirasi ilmu kesehatan dari pengalaman Nabi (Awang & Robbi, 2020). Nabi mengajarkan
kesehatan untuk hidup (Lazim, 2018), beliau mengajarkan puasa
untuk sistem kekebalan tubuh (Mostafazadeh & Khorasani, 2014), dan Nabi mengajarkan
pola hidup sehat (Fadli et al., 2019). Hadis sangat menekankan
kebersihan dan kesehatan lingkungan (Rahmasari,
2017), termasuk hadis membahas hujan dan banjir (Zulhelmi
& Azman, 2016). Ada pula penelitian yang
menyatakan bahwa hadis merupakan objek fisika (Mirza, 2016). Dipaparkan pula tentang
kebenaran hadis dari perspektif fisika sains (Harahap, 2017).
Hadis
membahas pula masalah biologi, seperti pemahaman hadis tentang gen dalam
perspektif sains (Setyani,
2016), proses reproduksi wanita dalam perspektif hadis
Nabi (Rofiq, 2015), dan interelasi organ tubuh
perspektif hadis (Nashiruddin,
2017). Ada pula biologi tumbuhan dalam pemahaman hadis (Baihaqi,
2018). Juga biologi hewan menurut hadis dengan
pendekatan sains (Tsaqofi,
2018). Selebihnya, hadis membahas jenis lalat (Fikriyati, 2019). Bahkan, hadis tentang
lalat ini mengilhami penelitian produksi anti bakteri dari sayap berbagai jenis
lalat (Mustami
& Masri, 2017). Hal berkenaan dengan material
besi pun dibahas dalam hadis (Salmah, 2017).
Hadis
bukan segalanya di hadapan sains dan teknologi. Kenyataannya, sains dan
teknologi mengalami kemajuan yang pesat (Hardiyati, 2020). Sedangkan ilmu hadis masih mencari bentuk pengembangan (Darmalaksana, 2020e). Akan tetapi, hadis dapat menjadi inspirasi pengembangan
sains dan teknologi (Mustami
& Masri, 2017). Tidak dapat dipungkiri,
ternyata banyak dijumpai hadis-hadis berkenaan dengan sains dan teknologi (Nairozle et al., 2018). Tentu hal ini dapat menjadi peluang sains dan teknologi
dalam mendorong pengembangan penelitian hadis di masa depan (Abbas, 2019).
Khusus
berkenaan dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, maka ilmu hadis dapat
memanfaatkannya untuk metodologi terapan (Hasibuan, 2017). Metode takhrij hadis dapat dikembangkan melalui kemajuan
teknologi informasi (Darmalaksana, 2020d). Hal ini berperan untuk memudahkan proses validasi hadis dari
himpunan big data digital (Darmalaksana, 2020a). Ahli hadis dapat melakukan penelitian kolaborasi dengan
kalangan engineering untuk merancang aplikasi otentisitas hadis. Ahli hadis
berperan menyusun proses bisnis validasi hadis berdasarkan ilmu hadis, dan
kalangan engineering aplikasi hadis dengan pendekatan mutakhir. Kolaborasi
menjadi bagian penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan di era multidisiplin
ini (Darmalaksana, 2020d).
Penelitian
otentisitas saja (N. K. Ibrahim et al., 2016) tidak cukup dalam studi
kritik hadis (Yaqub, 2004). Selanjutnya dibutuhkan
studi teks hadis (Pari, 2017). Biasanya digunakan
pendekatan kontekstual dalam memahami hadis-hadis Nabi (Shah,
2011). Meskipun pendekatan kontekstual dipandang
mutakhir dalam studi teks hadis (Idris, 2018), namun penelitian hadis
masih membutuhkan pendekatan transdisipliner (Hadorn et al., 2008). Berbasis pada pendekatan transdisipliner dalam penelitian
hadis (Sudikan, 2015), maka akan dihasilkan integrasi antara hadis dan sains,
sehingga tidak ada dikotomi antara hadis dan sains (Istikomah, 2019).