Bagian Satu: Tanah Air Tahun 1970-an
Wahyudin Darmalaksana
Last Updated
2022-02-18T09:22:19Z
Jejak-jejak masa kecil
sebagian besarnya telah pupus tersapu angin, tertimpa hujan dan terlipat waktu.
Dari yang sudah pupus itu, aku masih teringat beberapa kenangan indah tentang
ketulusan, kasih sayang dan kehangatan.
Ketika usiaku masih begitu
muda, kami menetap bersama kakek di sebuah kampung. Aku memanggil kakek dengan
sebutan bapak sedangkan nenek dipanggil emak. Setelah pensiun dari tentara
militer, bapak pulang ke kampung asalnya dan menetap di sana menjadi seorang
petani mengolah sawah dan memelihara kebun. Sedangkan emak berasal dari tempat
yang jauh. Kami hidup bersama di sebuah kampung pada sebuah kaki gunung.
Rumah kami terletak di
tengah-tengah perkampungan penduduk. Di pelataran sekitar tempat tinggal kami
ada kolam-kolam ikan. Di halaman rumah tampak ternak-ternak berkeliaran. Tidak
jauh dari arah rumah terdapat sekolah dasar, balai desa, dan mesjid. Sedang di
dataran rendah pada lembah-lembah yang landai terdapat sawah-sawah yang
membentang mulai arah barat hingga arah timur dan mulai dari arah selatan
sampai arah utara. Di sana terdapat sungai yang lebar dan airnya tampak jernih.
Apabila turun hujan lebat praktis air sungai menjadi keruh dan terkadang meluap
hingga ke sawah-sawah karena menerima limpahan dari sungai-sungai yang kecil. Di
musim kemarau dapat dijumpai berbagai jenis ikan di sungai ini. Di sana kita
dapat menemukan jalan kendaraan umum yang membelah perkampungan sebagai
penghubung antara satu wilayah dengan wilayah lain apabila penduduk hendak
bekerja ke kota, atau pergi ke pasar atau bepergian untuk urusan-urusan lain.
Penduduk sebagian besarnya
bekerja sebagai petani, baik di kebun atau pun di sawah. Sebagian yang lain
bekerja sebagai pegawai negeri dengan profesi yang beragam. Ada pegawai negeri
sipil dan ada pegawai negeri militer, di bidang ketentaraan atau di bidang
kepolisian. Pegawai negeri sipil sebagian berprofesi sebagai guru dan
sebagiannya lagi sebagai pegawai pemerintahan. Ada juga yang berprofesi sebagai
pedagang yang menjual hasil-hasil pertanian ke pasar. Atau ada juga yang
bekerja di tempat yang jauh di kota di berbagai bidang semisal pertukangan dan
perusahaan atau sebagai buruh pabrik dan penjaga toko. Pekerjaan yang ditekuni
masyarakat berkaitan dengan penghasilan ekonomi masyarakat tersebut sebagai wujud
perjuangan untuk mempertahankan hidup. Meskipun terdapat polarisasi dalam
kotak-kotak bidang pekerjaan, namun masyarakat di kampung kami selalu
bahu-membahu bergotong royong menunjukan sikap kepedulian dan rasa kebersamaan
sehingga tercipta suatu kedamaian.
Sedangkan hal yang
berkaitan dengan identitas masyarakat dapat ditelusuri dari sikap, watak dan
karakter individu-individu masyarakat. Tak diketahui dengan pasti kapan syiar
agama masuk ke wilayah ini yang tentu saja telah turut membentuk indentitas masyarakat
di wilayah ini. Namun, dapat dikatakan dengan tegas bahwa aspek pembentuk
masyarakat lebih menonjol mendapat saluran dari wilayah seni dan budaya
---untuk tidak mengatakan peran agama tidak ada sama sekali. Terkait dengan
asal-usul dan seluk-beluk seni dan budaya di wilayah ini merupakan subjek yang
belum terlacak.
Aku menjumpai berbagai
jenis kesenian dan kerajinan sejak di sekolah dasar. Seperti seni tari yang
berupa jaipong, tari topeng dan sebagainya. Juga terdapat calung, angklung,
kacapi, reog, longser, sandiwara, lawak, sisindiran dan lain-lain. Juga
nyanyian-nyanyian seperti kinanti, pupuh, saweran dan sebagainya. Selain itu,
ada pula pesinden dan pedalang yang melestarikan seni wayang golek di mana
rombongan ini kerap manggung di kampung-kampung lain. Di sini, banyak dijumpai
tokoh-tokoh pekerja seni, seperti pelukis dan pembuat patung. Tak heran bila
darah seni budaya mengalir dalam nadi masyarakat. Aku belajar menari di sekolah
meskipun menurut sang guru jari tanganku teramat kaku. Atau terkadang bapak
memanggil pemuda untuk menari jaipong di rumah, walaupun kini tarian tersebut
tak pernah kucoba lagi. Di sekolah juga diajarkan cara membuat
kerajinan-kerajinan tangan. Meskipun aku lebih sering meminta tolong babak agar
membuatkan kerajinan untuku, namun aku cukup asyik memperhatikan tangan-tangan
kreatif pembuatnya. Jelas tangan bapak lebih terampil dibandingkan tangan
mungil ini. Bapak pandai membuat ukiran untuk pegangan golok, dan kini sebuah
asbak rokok berpatungkan monyet buatan bapak masih terpelihara di rumah kami.
Bapak juga terampil membuat gambar dengan pensil atau arang, seperti gambar
orang, pemandangan, binatang dan sebagainya. Tak satu pun dari
kerajinan-kerajinan itu menjadi komoditi untuk dijual. Budaya dan kesenian
mempunyai citra rasa tinggi dan khas individu-individu masyarakat yang darinya
sikap, watak dan karakter memungkinkan terbentuk.
Bapak memang orangnya keras
tetapi aku melihatnya lebih sebagai pendidikan untuk kedisiplinan. Sering kali
kawan-kawan seperjuangannya di militer meminta bapak untuk bersama mereka
memburu babi hutan tetapi tidak jarang ia menolak karena mungkin dianggapnya
bahwa perburuan telah usai di masa penjajahan dahulu. Konon ayahnya bapak,
uyut, memiliki watak yang lebih keras lagi menurut orang sekampung. Boleh jadi
karakter keras dia merupakan watak yang terpelihara secara turun temurun dari
uyut. Atau diperoleh dari latihan militer sewaktu masih aktif menjadi tentara
dulu. Anehnya, aku tak pernah risih meskipun bapak punya watak keras seperti itu.
Beberapa kali aku terkena damprat kalau beliau sedang marah. Sapu lidi atau
tongkat dijadikan alat pemukul tetapi tak pernah disentuhkan pada tubuhku
melainkan sembarang memukul pada benda-benda di sekeliling hingga menimbulkan
hentakan suara keras sampai alat pemukulnya hancur. Rona kasih sayang beliau
selalu tercurah untuku sehingga hal inilah yang membuatku tak pernah merasa
risih. Alasan lain mungkin aku bisa berlari ke emak untuk minta perlindungan.
Ada banyak sebab yang membuat bapak demikian marah, semuanya diasalkan dari
kenakalan atau ketidakdisiplinanku. Seingatku, rasanya emak tak pernah marah
besar seperti bapak. Belakangan baru disadari bahwa sikap keras bapak tak lain
sebagai bentuk kasih sayang.
Bapak adalah petani pekebun
mantan pejuang. Dalam bertani dan berkebun tampak seperti iseng namun serius.
Disebut iseng karena kebun dan sawah beliau sebagian besar pengelolaannya
diberikan kepada orang lain. Dia lebih sering ke kebun atau mengurus
kolam-kolam ikan dan berternak di sekitar pelataran rumah. Sedangkan emak lebih
banyak mengikuti pola bapak. Lalu, dikatakan serius karena selain memanfaatkan
gaji pension tentara juga hasil pertanian beliau sering dijadikan andalan untuk
bertahan hidup. Hasilnya sedikit demi sedikit ditabungkan untuk membeli
beberapa petak tanah. Bapak tidak saja kokoh, kuat dan kekar dari segi fisik
yang terlihat dari otot-otot lengan yang menyembur ke luar dan sorot matanya
yang tajam, tetapi juga kukuh dan gigih dalam hal bekerja untuk menikmati
hidup, meskipun sekarang telah berbaring tenang untuk selamanya setelah
sebelumnya menderita sakit yang cukup panjang. Semoga arwah beliau diterima di
sisi Sang Pencipta.
Bapak dan emak kerap
membawa aku ke kebun pada sebuah bukit untuk memelihara pohon cengkih, menanam
umbi-umbian dan mencari kayu bakar. Aku mengenakan topi untuk melindungi kepala
dari terik matahari. Kami berjalan dengan kaki telanjang menyusuri jalan
setapak yang berliku-liku di sekitar rumah-rumah penduduk hingga menuju bukit.
Tiba di sana emak menyimpan barang bawaan pada sebuah saung. Emak dan bapak
memulai bekerja. Aku menangkap belalang yang hinggap di pohon-pohon. Aku
melihat butir-butir keringat di kening bapak. Menjelang siang kami menyantap
nasi timbel dan ikan asin yang dibawa dari rumah. Bapak membuatkan ikat kayu
bakar untuk kupikul. Aku sering menolak bila disuruh memikul kayu bakar bukan
karena lelah tetapi malu nanti dilihat orang-orang kalau sampai di
perkampungan. Tampak terlihat bodohnya aku dan malu-malu pada saat dibilang
anak rajin oleh orang-orang yang berpapasan. Kuserahkan saja pada emak ikat
kayu bakar itu di tengah perjalanan pulang.
Setelah kering dari
keringat, untuk membersihkan tubuh dari gatal-gatal bambu, bapak bergegas ke
jamban yang terletak di samping rumah di pinggir sebuah kolam. Aku sering
turun ke kolam-kolam di sekitar itu untuk menangkap ikan atau sekedar main
basah-basahan. Emak beberapa kali meminta aku naik ke darat khawatir sakit
masuk angin. Bapak juga akhirnya meminta begitu karena kasihan anak-anak ikan
jadi mabuk bila airnya keruh. Bapak hampir tidak pernah membeli ikan tawar
karena dia pandai mengawinkan ikan-ikan agar bertelur dan kemudian menjadi
anak-anak ikan yang banyak. Justru tetangga yang jauh sering membeli ikan dari
kolam bapak. Penghasilannya ditabung atau dipakai untuk membeli kebutuhan
sehari-hari. Aku baru beranjak dari kolam kalau sudah merasa puas atau bosan.
Menjelang malam aku biasa
main ke aki, adik bapak, di samping rumah kami. Aki pandai bercerita tentang
banyak hal terutama dongeng-dongeng tentang binatang hingga sebelum emak datang
menjemput tidak jarang aku terlelap tidur di situ. Atau bapak segera menyusul
meraih tubuh kecilku untuk dibopong ke rumah, sedang mataku antara tidur dan
terjaga. Dalam tidur selalu kupegang lingkar leher emak yang terkadang
dibiarkannya, tetapi dia sering juga menolak karena alasan keleluasaan bernafas
jadi terganggu. Beberapa kali emak menepisnya tetapi aku tetap memaksa menaruh
telapak tangan ini pada lingkar lehernya. Karena dengan itu aku bisa merasakan
kehangatan dan kenyamanan. Tak jarang di pagi hari aku mendapati lubang hidung
kami penuh dengan debu hitam dari cempor minyak tanah yang nyalanya membesar
tadi malam. Kami tertawa melihat debu-debu hitam pada wajah setelah melihatnya
pada cermin lemari pada sebuah sudut kamar.
Siapa pun sulit menghentikan
kalau aku sedang ada maunya. Apabila kemauan tidak dikabulkan seketika aku
memasang jurus dengan tangisan yang keras. Tidak cukup dengan itu ditambah
dengan berguling-guling tubuh di lantai atau tanah. Situasi hancur-hancuran
seperti itu baru dapat didiamkan setelah emak menjulurkan kedua tangannya untuk
meraih tubuh aku yang gendut. Aku begitu dekatnya dengan emak dibandingkan
dengan bapak. Aku sering dibawa oleh emak bila beliau ada perlu ke rumah tetangga.
Aku berjalan kaki sambil berpegangan tangan pada ujung baju emak. Kami
dipersilahkan masuk oleh penghuni rumah. Kami duduk di ruang tamu. Penghuni
rumah membuka tutup-tutup tempat kue dan mendekatkan tempat-tempat kue itu
kearahku. Aku terlihat begitu bodohnya tak kuasa menyentuh kue-kue itu, kecuali
setelah emak mengambilkan satu biji buat aku. Juga aku tampak begitu bodohnya
sehingga menarik-narik ujung baju emak sebagai tanda aku mengharapkan sebuah
kue lagi. Kalau aku ada maunya emak begitu mengerti kelihatannya.
Bersama kakak perempuan
yang juga tinggal bersama kakek, kami sering pergi berkunjung ke rumah aki,
kakek dari ayah. Rumahnya terletak di sebelah atas di dusun lain. Aki kerap
mengeluskan tangannya pada rambut kepalaku sambil berkata-kata ‘calon dokter’.
Aku boleh merasa bangga meskipun saat itu tidak mengerti apa yang dimaksud
dokter. Aki juga telah tiada berpulang ke rahmatullah semoga arwahnya diterima di sisi-Nya. Di kampung ini hampir semuanya kerabat. Di alun-alun depan balai desa
aku sering menunggu uak, kakak ayah, dari pulang dinas di kota. Aku tidak
pernah meminta tetapi uak mengerti seraya merogoh sakunya dan menyodorkan uang
logam untuk aku.
Sebagian kerabat ada pula
di tempat-tempat yang jauh hingga memerlukan kendaraan umum untuk berkunjung ke
sana. Di kendaraan umum, aku sering memilih berdiri daripada duduk di jok
karena dengan begitu aku bisa leluasa melihat pemandangan di perjalanan.
Biasanya kami disambut oleh kerabat dengan penuh suka cita. Kami masuk melalui
pintu rumah bagian depan, dan kerabat-kerabat ini langsung membawa kami ke
ruang tengah. Tengah rumah merupakan pusat berkumpul keluarga dekat. Tempatnya
berhimpitan dengan ruang dapur di bagian belakang. Ruang dapur biasanya
dipusatkan untuk para ibu.
Seluruh keluarga boleh
berkumpul di ruangan tengah itu. Kucing atau ternak-ternak seperti ayam kadang
nyelonong ke dapur. Di tempat yang lebih menjorok ke belakang, kadang dibuatkan
ruang berkumpul berupa balai-balai di atas kolam. Di situ kami biasanya
bertutur tentang banyak hal sambil menikmati hidangan makan. Tema pembicaraan
dapat menyakut hal-hal tak tentu. Kadang hanya bercerita ke sana ke mari hanya
untuk melepas rindu. Atau bercerita tentang kisah-kisah perjuangan di jaman
penjajahan. Kisah tentang saudara-saudara yang gugur di medan peperangan. Kisah
kegetiran-kegetiran oleh tekanan penjajahan. Kisah-kisah kegigihan melawan
penjajah. Dan sebagainya. Aku tidak begitu mencermati tetapi sering terdengar
ada bagian-bagian yang membuatku tertarik menyimaknya.
Para bapak duduk bersila
sambil menyantap makanan-makanan kampung dan minum kopi yang sudah ditumbuk
hasil dari kebun. Atau merokok memakai daun pohon kawung yang dikeringkan. Para
ibu biasanya tidak pernah berhenti bertutur tentang apa saja yang melintas di
benaknya sambil terus hilir mudik ke dapur untuk menyiapkan dan menyajikan
berbagai hidangan makan siang. Tak terlihat ada yang istimewa dari makanan yang
dihidangkan itu. Menu utamanya tak lebih dari nasi putih atau nasi merah, ikan
hasil tangkapan dari kolam, lalap-lalapan hasil memetik dari kebun, dan tak
terlewatkan sambal terasi. Terkadang ada menu tambahan seperti telur asin hasil
beli dari warung, telur dadar, dan kecap. Atau daging sapi hasil beli dari
pasar. Semua menu utama dihidangkan dalam keadaan hangat dan dadakan. Asap nasi
biasanya masih mengepul karena baru diangkat dari tempat menanak pada tungku
dengan menggunakan kayu bakar dari hutan. Emak terlihat membantu
membolak-balikan nasi dengan menggunakan alat dari kayu agar asapnya cepat
kabur dan nasinya tidak terlalu panas sehingga bias cepat disantap. Ikan hasil
tangkapan digoreng dengan minyak kelapa hasil buatan sendiri sehingga aromanya
terasa menusuk lubang hidung. Salah seorang pemuda memanjat pohon kelapa untuk
memetik beberapa butir kelapa yang muda. Empat atau lima hingga enam butir
kelapa muda diambil tidak dari satu pohon tetapi biasa dari dua atau tiga pohon
kelapa. Kami makan bersama hingga berkeluaran keringat pada kening, punggung
dan dada.
Kerabat menahan kami untuk
pulang bila hari sudah menjelang sore. Mereka meminta kami supaya menginap di
situ. Rumah-rumah kerabat yang lain tidak terlalu berjauhan. Semuanya memohon
agar kami menyempatkan mampir ke rumah-rumah mereka sekedar untuk minum air teh hangat yang diolah sendiri hasil memetik dari kebun. Mereka menyiapkan kami
untuk tidur di kamar utama, yang tempatnya berada paling depan bersebelahan
dengan ruang tamu. Tetapi bapak terkadang hanya menyimpan tas dan barang-barang
saja di kamar itu. Bapak memilih istirahat merebahkan badan di atas kursi
panjang sedang letak kepala ada di atas tangan kursi yang sebelumnya telah
beliau lapisi dengan bantal. Atau dia mengeluarkan kasur dari kamar ke ruang
tengah dan kami beristirahat di situ. Kerabat seisi rumah membiarkan kami
memilih mana yang kami suka. Di luar terdengar suara binatang-binatang kecil.
Esok harinya kami
berpamitan pulang. Ada segala jenis makanan dan hasil-hasil bertani yang diikat
di dalam karung atau di dalam kardus bekas yang telah disiapkan di depan rumah
untuk dibawa pulang dan kami biasanya tidak bisa menolak. Tidak jarang aku
diberi uang yang dikepalkan ke telapak tangan untuk jajan di perjalanan.
Bersambung…..