-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Bagian Satu: Tanah Air Tahun 1970-an

Thursday, February 17, 2022 | 8:44:00 PM WIB Last Updated 2022-02-18T09:22:19Z



 
Jejak-jejak masa kecil sebagian besarnya telah pupus tersapu angin, tertimpa hujan dan terlipat waktu. Dari yang sudah pupus itu, aku masih teringat beberapa kenangan indah tentang ketulusan, kasih sayang dan kehangatan.  
 
Ketika usiaku masih begitu muda, kami menetap bersama kakek di sebuah kampung. Aku memanggil kakek dengan sebutan bapak sedangkan nenek dipanggil emak. Setelah pensiun dari tentara militer, bapak pulang ke kampung asalnya dan menetap di sana menjadi seorang petani mengolah sawah dan memelihara kebun. Sedangkan emak berasal dari tempat yang jauh. Kami hidup bersama di sebuah kampung pada sebuah kaki gunung.  
 
Rumah kami terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk. Di pelataran sekitar tempat tinggal kami ada kolam-kolam ikan. Di halaman rumah tampak ternak-ternak berkeliaran. Tidak jauh dari arah rumah terdapat sekolah dasar, balai desa, dan mesjid. Sedang di dataran rendah pada lembah-lembah yang landai terdapat sawah-sawah yang membentang mulai arah barat hingga arah timur dan mulai dari arah selatan sampai arah utara. Di sana terdapat sungai yang lebar dan airnya tampak jernih. Apabila turun hujan lebat praktis air sungai menjadi keruh dan terkadang meluap hingga ke sawah-sawah karena menerima limpahan dari sungai-sungai yang kecil. Di musim kemarau dapat dijumpai berbagai jenis ikan di sungai ini. Di sana kita dapat menemukan jalan kendaraan umum yang membelah perkampungan sebagai penghubung antara satu wilayah dengan wilayah lain apabila penduduk hendak bekerja ke kota, atau pergi ke pasar atau bepergian untuk urusan-urusan lain.  
 
Penduduk sebagian besarnya bekerja sebagai petani, baik di kebun atau pun di sawah. Sebagian yang lain bekerja sebagai pegawai negeri dengan profesi yang beragam. Ada pegawai negeri sipil dan ada pegawai negeri militer, di bidang ketentaraan atau di bidang kepolisian. Pegawai negeri sipil sebagian berprofesi sebagai guru dan sebagiannya lagi sebagai pegawai pemerintahan. Ada juga yang berprofesi sebagai pedagang yang menjual hasil-hasil pertanian ke pasar. Atau ada juga yang bekerja di tempat yang jauh di kota di berbagai bidang semisal pertukangan dan perusahaan atau sebagai buruh pabrik dan penjaga toko. Pekerjaan yang ditekuni masyarakat berkaitan dengan penghasilan ekonomi masyarakat tersebut sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan hidup. Meskipun terdapat polarisasi dalam kotak-kotak bidang pekerjaan, namun masyarakat di kampung kami selalu bahu-membahu bergotong royong menunjukan sikap kepedulian dan rasa kebersamaan sehingga tercipta suatu kedamaian.  
 
Sedangkan hal yang berkaitan dengan identitas masyarakat dapat ditelusuri dari sikap, watak dan karakter individu-individu masyarakat. Tak diketahui dengan pasti kapan syiar agama masuk ke wilayah ini yang tentu saja telah turut membentuk indentitas masyarakat di wilayah ini. Namun, dapat dikatakan dengan tegas bahwa aspek pembentuk masyarakat lebih menonjol mendapat saluran dari wilayah seni dan budaya ---untuk tidak mengatakan peran agama tidak ada sama sekali. Terkait dengan asal-usul dan seluk-beluk seni dan budaya di wilayah ini merupakan subjek yang belum terlacak.  
 
Aku menjumpai berbagai jenis kesenian dan kerajinan sejak di sekolah dasar. Seperti seni tari yang berupa jaipong, tari topeng dan sebagainya. Juga terdapat calung, angklung, kacapi, reog, longser, sandiwara, lawak, sisindiran dan lain-lain. Juga nyanyian-nyanyian seperti kinanti, pupuh, saweran dan sebagainya. Selain itu, ada pula pesinden dan pedalang yang melestarikan seni wayang golek di mana rombongan ini kerap manggung di kampung-kampung lain. Di sini, banyak dijumpai tokoh-tokoh pekerja seni, seperti pelukis dan pembuat patung. Tak heran bila darah seni budaya mengalir dalam nadi masyarakat. Aku belajar menari di sekolah meskipun menurut sang guru jari tanganku teramat kaku. Atau terkadang bapak memanggil pemuda untuk menari jaipong di rumah, walaupun kini tarian tersebut tak pernah kucoba lagi. Di sekolah juga diajarkan cara membuat kerajinan-kerajinan tangan. Meskipun aku lebih sering meminta tolong babak agar membuatkan kerajinan untuku, namun aku cukup asyik memperhatikan tangan-tangan kreatif pembuatnya. Jelas tangan bapak lebih terampil dibandingkan tangan mungil ini. Bapak pandai membuat ukiran untuk pegangan golok, dan kini sebuah asbak rokok berpatungkan monyet buatan bapak masih terpelihara di rumah kami. Bapak juga terampil membuat gambar dengan pensil atau arang, seperti gambar orang, pemandangan, binatang dan sebagainya. Tak satu pun dari kerajinan-kerajinan itu menjadi komoditi untuk dijual. Budaya dan kesenian mempunyai citra rasa tinggi dan khas individu-individu masyarakat yang darinya sikap, watak dan karakter memungkinkan terbentuk.  
 
Bapak memang orangnya keras tetapi aku melihatnya lebih sebagai pendidikan untuk kedisiplinan. Sering kali kawan-kawan seperjuangannya di militer meminta bapak untuk bersama mereka memburu babi hutan tetapi tidak jarang ia menolak karena mungkin dianggapnya bahwa perburuan telah usai di masa penjajahan dahulu. Konon ayahnya bapak, uyut, memiliki watak yang lebih keras lagi menurut orang sekampung. Boleh jadi karakter keras dia merupakan watak yang terpelihara secara turun temurun dari uyut. Atau diperoleh dari latihan militer sewaktu masih aktif menjadi tentara dulu. Anehnya, aku tak pernah risih meskipun bapak punya watak keras seperti itu. Beberapa kali aku terkena damprat kalau beliau sedang marah. Sapu lidi atau tongkat dijadikan alat pemukul tetapi tak pernah disentuhkan pada tubuhku melainkan sembarang memukul pada benda-benda di sekeliling hingga menimbulkan hentakan suara keras sampai alat pemukulnya hancur. Rona kasih sayang beliau selalu tercurah untuku sehingga hal inilah yang membuatku tak pernah merasa risih. Alasan lain mungkin aku bisa berlari ke emak untuk minta perlindungan. Ada banyak sebab yang membuat bapak demikian marah, semuanya diasalkan dari kenakalan atau ketidakdisiplinanku. Seingatku, rasanya emak tak pernah marah besar seperti bapak. Belakangan baru disadari bahwa sikap keras bapak tak lain sebagai bentuk kasih sayang.  
 
Bapak adalah petani pekebun mantan pejuang. Dalam bertani dan berkebun tampak seperti iseng namun serius. Disebut iseng karena kebun dan sawah beliau sebagian besar pengelolaannya diberikan kepada orang lain. Dia lebih sering ke kebun atau mengurus kolam-kolam ikan dan berternak di sekitar pelataran rumah. Sedangkan emak lebih banyak mengikuti pola bapak. Lalu, dikatakan serius karena selain memanfaatkan gaji pension tentara juga hasil pertanian beliau sering dijadikan andalan untuk bertahan hidup. Hasilnya sedikit demi sedikit ditabungkan untuk membeli beberapa petak tanah. Bapak tidak saja kokoh, kuat dan kekar dari segi fisik yang terlihat dari otot-otot lengan yang menyembur ke luar dan sorot matanya yang tajam, tetapi juga kukuh dan gigih dalam hal bekerja untuk menikmati hidup, meskipun sekarang telah berbaring tenang untuk selamanya setelah sebelumnya menderita sakit yang cukup panjang. Semoga arwah beliau diterima di sisi Sang Pencipta.  
 
Bapak dan emak kerap membawa aku ke kebun pada sebuah bukit untuk memelihara pohon cengkih, menanam umbi-umbian dan mencari kayu bakar. Aku mengenakan topi untuk melindungi kepala dari terik matahari. Kami berjalan dengan kaki telanjang menyusuri jalan setapak yang berliku-liku di sekitar rumah-rumah penduduk hingga menuju bukit. Tiba di sana emak menyimpan barang bawaan pada sebuah saung. Emak dan bapak memulai bekerja. Aku menangkap belalang yang hinggap di pohon-pohon. Aku melihat butir-butir keringat di kening bapak. Menjelang siang kami menyantap nasi timbel dan ikan asin yang dibawa dari rumah. Bapak membuatkan ikat kayu bakar untuk kupikul. Aku sering menolak bila disuruh memikul kayu bakar bukan karena lelah tetapi malu nanti dilihat orang-orang kalau sampai di perkampungan. Tampak terlihat bodohnya aku dan malu-malu pada saat dibilang anak rajin oleh orang-orang yang berpapasan. Kuserahkan saja pada emak ikat kayu bakar itu di tengah perjalanan pulang.  
 
Setelah kering dari keringat, untuk membersihkan tubuh dari gatal-gatal bambu, bapak bergegas ke jamban yang terletak di samping rumah di pinggir sebuah kolam. Aku sering turun ke kolam-kolam di sekitar itu untuk menangkap ikan atau sekedar main basah-basahan. Emak beberapa kali meminta aku naik ke darat khawatir sakit masuk angin. Bapak juga akhirnya meminta begitu karena kasihan anak-anak ikan jadi mabuk bila airnya keruh. Bapak hampir tidak pernah membeli ikan tawar karena dia pandai mengawinkan ikan-ikan agar bertelur dan kemudian menjadi anak-anak ikan yang banyak. Justru tetangga yang jauh sering membeli ikan dari kolam bapak. Penghasilannya ditabung atau dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku baru beranjak dari kolam kalau sudah merasa puas atau bosan.  
 
Menjelang malam aku biasa main ke aki, adik bapak, di samping rumah kami. Aki pandai bercerita tentang banyak hal terutama dongeng-dongeng tentang binatang hingga sebelum emak datang menjemput tidak jarang aku terlelap tidur di situ. Atau bapak segera menyusul meraih tubuh kecilku untuk dibopong ke rumah, sedang mataku antara tidur dan terjaga. Dalam tidur selalu kupegang lingkar leher emak yang terkadang dibiarkannya, tetapi dia sering juga menolak karena alasan keleluasaan bernafas jadi terganggu. Beberapa kali emak menepisnya tetapi aku tetap memaksa menaruh telapak tangan ini pada lingkar lehernya. Karena dengan itu aku bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan. Tak jarang di pagi hari aku mendapati lubang hidung kami penuh dengan debu hitam dari cempor minyak tanah yang nyalanya membesar tadi malam. Kami tertawa melihat debu-debu hitam pada wajah setelah melihatnya pada cermin lemari pada sebuah sudut kamar.  
 
Siapa pun sulit menghentikan kalau aku sedang ada maunya. Apabila kemauan tidak dikabulkan seketika aku memasang jurus dengan tangisan yang keras. Tidak cukup dengan itu ditambah dengan berguling-guling tubuh di lantai atau tanah. Situasi hancur-hancuran seperti itu baru dapat didiamkan setelah emak menjulurkan kedua tangannya untuk meraih tubuh aku yang gendut. Aku begitu dekatnya dengan emak dibandingkan dengan bapak. Aku sering dibawa oleh emak bila beliau ada perlu ke rumah tetangga. Aku berjalan kaki sambil berpegangan tangan pada ujung baju emak. Kami dipersilahkan masuk oleh penghuni rumah. Kami duduk di ruang tamu. Penghuni rumah membuka tutup-tutup tempat kue dan mendekatkan tempat-tempat kue itu kearahku. Aku terlihat begitu bodohnya tak kuasa menyentuh kue-kue itu, kecuali setelah emak mengambilkan satu biji buat aku. Juga aku tampak begitu bodohnya sehingga menarik-narik ujung baju emak sebagai tanda aku mengharapkan sebuah kue lagi. Kalau aku ada maunya emak begitu mengerti kelihatannya.  
 
Bersama kakak perempuan yang juga tinggal bersama kakek, kami sering pergi berkunjung ke rumah aki, kakek dari ayah. Rumahnya terletak di sebelah atas di dusun lain. Aki kerap mengeluskan tangannya pada rambut kepalaku sambil berkata-kata ‘calon dokter’. Aku boleh merasa bangga meskipun saat itu tidak mengerti apa yang dimaksud dokter. Aki juga telah tiada berpulang ke rahmatullah semoga arwahnya diterima di sisi-Nya. Di kampung ini hampir semuanya kerabat. Di alun-alun depan balai desa aku sering menunggu uak, kakak ayah, dari pulang dinas di kota. Aku tidak pernah meminta tetapi uak mengerti seraya merogoh sakunya dan menyodorkan uang logam untuk aku.   
Sebagian kerabat ada pula di tempat-tempat yang jauh hingga memerlukan kendaraan umum untuk berkunjung ke sana. Di kendaraan umum, aku sering memilih berdiri daripada duduk di jok karena dengan begitu aku bisa leluasa melihat pemandangan di perjalanan. Biasanya kami disambut oleh kerabat dengan penuh suka cita. Kami masuk melalui pintu rumah bagian depan, dan kerabat-kerabat ini langsung membawa kami ke ruang tengah. Tengah rumah merupakan pusat berkumpul keluarga dekat. Tempatnya berhimpitan dengan ruang dapur di bagian belakang. Ruang dapur biasanya dipusatkan untuk para ibu.  
 
Seluruh keluarga boleh berkumpul di ruangan tengah itu. Kucing atau ternak-ternak seperti ayam kadang nyelonong ke dapur. Di tempat yang lebih menjorok ke belakang, kadang dibuatkan ruang berkumpul berupa balai-balai di atas kolam. Di situ kami biasanya bertutur tentang banyak hal sambil menikmati hidangan makan. Tema pembicaraan dapat menyakut hal-hal tak tentu. Kadang hanya bercerita ke sana ke mari hanya untuk melepas rindu. Atau bercerita tentang kisah-kisah perjuangan di jaman penjajahan. Kisah tentang saudara-saudara yang gugur di medan peperangan. Kisah kegetiran-kegetiran oleh tekanan penjajahan. Kisah-kisah kegigihan melawan penjajah. Dan sebagainya. Aku tidak begitu mencermati tetapi sering terdengar ada bagian-bagian yang membuatku tertarik menyimaknya.  
 
Para bapak duduk bersila sambil menyantap makanan-makanan kampung dan minum kopi yang sudah ditumbuk hasil dari kebun. Atau merokok memakai daun pohon kawung yang dikeringkan. Para ibu biasanya tidak pernah berhenti bertutur tentang apa saja yang melintas di benaknya sambil terus hilir mudik ke dapur untuk menyiapkan dan menyajikan berbagai hidangan makan siang. Tak terlihat ada yang istimewa dari makanan yang dihidangkan itu. Menu utamanya tak lebih dari nasi putih atau nasi merah, ikan hasil tangkapan dari kolam, lalap-lalapan hasil memetik dari kebun, dan tak terlewatkan sambal terasi. Terkadang ada menu tambahan seperti telur asin hasil beli dari warung, telur dadar, dan kecap. Atau daging sapi hasil beli dari pasar. Semua menu utama dihidangkan dalam keadaan hangat dan dadakan. Asap nasi biasanya masih mengepul karena baru diangkat dari tempat menanak pada tungku dengan menggunakan kayu bakar dari hutan. Emak terlihat membantu membolak-balikan nasi dengan menggunakan alat dari kayu agar asapnya cepat kabur dan nasinya tidak terlalu panas sehingga bias cepat disantap. Ikan hasil tangkapan digoreng dengan minyak kelapa hasil buatan sendiri sehingga aromanya terasa menusuk lubang hidung. Salah seorang pemuda memanjat pohon kelapa untuk memetik beberapa butir kelapa yang muda. Empat atau lima hingga enam butir kelapa muda diambil tidak dari satu pohon tetapi biasa dari dua atau tiga pohon kelapa. Kami makan bersama hingga berkeluaran keringat pada kening, punggung dan dada.  
 
Kerabat menahan kami untuk pulang bila hari sudah menjelang sore. Mereka meminta kami supaya menginap di situ. Rumah-rumah kerabat yang lain tidak terlalu berjauhan. Semuanya memohon agar kami menyempatkan mampir ke rumah-rumah mereka sekedar untuk minum air teh hangat yang diolah sendiri hasil memetik dari kebun. Mereka menyiapkan kami untuk tidur di kamar utama, yang tempatnya berada paling depan bersebelahan dengan ruang tamu. Tetapi bapak terkadang hanya menyimpan tas dan barang-barang saja di kamar itu. Bapak memilih istirahat merebahkan badan di atas kursi panjang sedang letak kepala ada di atas tangan kursi yang sebelumnya telah beliau lapisi dengan bantal. Atau dia mengeluarkan kasur dari kamar ke ruang tengah dan kami beristirahat di situ. Kerabat seisi rumah membiarkan kami memilih mana yang kami suka. Di luar terdengar suara binatang-binatang kecil.  
 
Esok harinya kami berpamitan pulang. Ada segala jenis makanan dan hasil-hasil bertani yang diikat di dalam karung atau di dalam kardus bekas yang telah disiapkan di depan rumah untuk dibawa pulang dan kami biasanya tidak bisa menolak. Tidak jarang aku diberi uang yang dikepalkan ke telapak tangan untuk jajan di perjalanan.  
 
Bersambung…..
 
 

×
Berita Terbaru Update